BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGARUH
TEMAN SEBAYA TERHADAP PEMBELAJARAN
1.
Pengertian
Teman Sebaya
Anak-anak memerlukan interaksi yang positif dengan
teman-teman sebaya mereka. Teman sebaya adalah anak-anak yang tingkat usia dan
kematangannya kurang lebih sama. Kelompok teman sebaya akan terbentuk dengan
sendirinya pada anak-anak yang tinggal berdekatan rumah atau pergi ke sekolah
bersama-sama. [1]
2.
Jenis-jenis Kelompok Sebaya
Ditinjau dari sifat organisasinya kelompok sebaya dapat dibedakan
menjadi:
a. Kelompok sebaya yang bersifat
informal. Kelompok sebaya ini dibentuk, diatur, dan dipimpin oleh anak itu
sendiri misalnya, kelompok permainan, gang, dan lain-lain. Di dalam kelompok
ini tidak ada bimbingan dan partisipasi orang dewasa.
b. Kelompok sebaya yang bersifat
formal. Di dalam kelompok ini ada bimbingan, partisipasi atau pengarahan orang
dewasa. Apabila bimbingan dan pengarahan diberikan secara bijaksana maka
kelompok sebaya ini dapat menjadi wahana proses sosialisasi nilai-nilai dan
norma yang terdapat dalam masyarakat. Yang termasuk dalam kelompok sebaya ini
misalnya, kepramukaan, klub, perkumpulan pemuda dan organisasi lainnya.
Menurut
Robbins, ada empat jenis kelompok sebaya yang mempunyai peranan penting dalam
proses sosialisasi yaitu kelompok permaianan, gang, klub, dan klik (clique).
Kelompok
permainan (play group)
terbentuk secara spontan dan merupakan kegiatan khas anak-anak, namun di
dalamnya tercermin pula struktur dan proses masyarakat luas, sedang gang,
bertujuan untuk melakukan kegiatan kejahatan, kekerasan, dan perbuatan anti
sosial. Klub adalah kelompok sebaya yang bersifat formal dalam artian
mempunyai organisasi sosial yang teratur serta dalam bimbingan orang dewasa.
Sementara itu klik (clique), para anggotanya selalu merencanakan untuk
mengerjakan sesuatu secara bersama yang bersifat positif dan tidak menimbulkan
konflik sosial.
3.
Peran
Teman Sebaya
a. Hubungan
pertemanan menjadi sebuah medan pembelajaran dan pelatihan berbagai
keterampilan social seperti negosiasi, persuasi, kerjasama, kompromi, kendali
emosional, dan penyelesaian konflik.
b. Teman
sebaya memberikan dukungan social, moral, dan emosional. Teman sebaya dapat
dijadikan sumber rasa nyaman dan aman karena teman sebaya bisa menjadi sebuah
kelompok tempat mereka dapat belajar bersama, aman dari anak-anak berandalan;
bahkan pada saat memasuki masa pubertas, teman sebaya sering kali menjadi
andalan, mengalahkan orang tua sendiri, terutama ketika mengalami masa krisis
atau kebingungan
c. Teman
sebaya berperan terhadap perkembangan pribadi dan social, yaitu dengan menjadi
agen sosialisasi yang membantu membentuk perilaku dan keyakinan mereka. Dalam
hal ini teman sebaya menentukan pilihan tentang cara menghabiskan waktu senggang, misalnya dengan
belajar bersama.[2]
d. Dengan
teman sebaya, anak mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk
bersosialisasi dan menjalin keakraban, Anak mampu meningkatkan hubungan dengan
teman, anak mendapatkan rasa kebersamaan. Selain itu, anak termotivasi untuk
mencapai prestasi dan mendapatkan rasa identitas. Anak juga mempelajari
keterampilan kepemimpinan dan keterampilan berkomunikasi, bekerja sama, bermain
peran, dan membuat atau menaati aturan.[3]
e. Teman
sebaya menjadi model atau contoh tentang cara berperilaku terhadap teman-teman
sebaya. Kelompok teman sebaya menyediakan sumber informasi dan perbandingan
tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak menerima umpan balik tentang
kemampuan-kemampuan mereka dari kelompok teman sebaya dan belajar tentang dunia
di luar keluarga mereka.
4.
Pengaruh
Teman Sebaya terhadap Pembelajaran
Hubungan yang baik di antara teman sebaya akan
sangat membantu perkembangan aspek sosial anak secara normal yang juga akan
berpengaruh pada pembelajaran. Anak pendiam yang ditolak oleh teman sebayanya,
dan merasa kesepian berisiko menderita depresi. Anak-anak yang agresif terhadap
teman sebaya berisiko pada berkembangnya sejumlah masalah seperti kenakalan dan
drop out dari sekolah. Dalam interaksi teman sebaya memungkinkan terjadinya
proses identifikasi, kerjasama dan proses kolaborasi. Proses-proses tersebut
akan mewarnai proses pembentukan tingkah laku dan proses pembelajaran.
Dukungan teman sebaya banyak membantu atau
memberikan keuntungan kepada anak-anak yang memiliki problem sosial dan problem
keluarga, dapat membantu memperbaiki iklim sekolah, serta memberikan pelatihan
keterampilan sosial. Namun, tidak semua teman dapat memberikan keuntungan bagi pembelajaran.
Perkembangan individu akan terbantu apabila anak memiliki teman yang secara
sosial terampil dan bersifat suportif. Sedangkan teman-teman yang suka
memaksakan kehendak dan banyak menimbulkan konflik akan menghambat pembelajaran.
Terpengaruh tidaknya individu dengan teman sebaya
tergantung pada persepsi individu terhadap kelompoknya, sebab persepsi individu
terhadap kelompok sebayanya akan menentukan keputusan yang diambil nantinya.
Kelompok sebaya menyediakan suatu lingkungan, yaitu
tempat teman sebayanya dapat melakukan sosialisasi dengan nilai yang berlaku,
bukan lagi nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa, melainkan oleh teman
seusianya, dan tempat dalam rangka menentukan jati dirinya.
Anak yang bergaul dengan anak-anak yang rajin dan
menaruh perhatian terhadap pelajaran di sekolah akan cenderung menjadi anak
yang rajin. Misalnya, dalam suatu kelas terdapat kelompok teman sebaya yang
terdiri atas 3 anak berprestasi di kelas dan 1 anak yang prestasinya biasa saja
dan bisa dibilangh acuh terhadap pelajaran. Ketika pembelajaran berlangsung, ketiga
anak berprestasi tersebut selalu membuat catatan di buku tulisnya. Suatu saat,
si anak yang prestasinya biasa saja itu mengikuti apa yang dilakukan ketiga
anak berprestasi itu dan pada akhirnya anak yang prestasinya sedang-sedang saja
berubah menjadi anak yang rajin mencatat dan menaruh perhatian pada aktivitas
pembelajaran. Contoh lain, ketika seorang anak diminta guru untuk menyanyikan
lagu daerah di depan kelas, si anak menolak. Tetapi ketika guru
meminta teman sebangkunya untuk menemani temannya menyanyi di depan kelas,
keduanya berani untuk maju ke depan.
Aktivitas anak bersama teman sebaya memang baik
untuk perkembangan anak. Namun apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok
sebaya adalah nilai negatif maka akan menimbulkan bahaya bagi perkembangan jiwa
individu yang akan berpengaruh pada proses belajar anak. Jika anak terlalu
banyak melakukan aktivitas bersama teman-temannya, sementara ia kurang mampu
membagi waktu belajarnya, dengan sendirinya aktivitas tersebut akan merugikan
anak karena kegiatan belajarnya menjadi terganggu.
B. PENGARUH BUDAYA
TERHADAP PEMBELAJARAN
1.
Pengertian
Budaya
Kata ”kebudayaan”
berasal dari (bahasa Sansekerta) buddayah yang merupakan bentuk jamak dari kata
“budhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang
bersangkutan dengan budi atau akal”. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan
adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil yang harus didapatkannya
dengan belajar, dan semua itu tersusun dalam kehidupan masyarakat. Selo
Soemardjan dan Soelaeman Soenardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil
karya, cipta, dan rasa masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan
kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang
diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta
hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.
Budaya menyangkut cara
hidup total kelompok atau masyarakat, menyangkut adat, tradisi, peraturan,
keyakinan, nilai, bahasa, dan produk fisik. Budaya adalah seluruh perilaku dan
sikap yang dipelajari, dialami bersama, dan disebarkan ke para anggota kelompok
sosial.[4]
2.
Pengaruh
Budaya Terhadap Pembelajaran
Budaya secara tidak
langsung dapat memberikan pengaruh terhadap pembelajaran. Peraturan dan norma
social yang berlaku pada suatu masyarakat tempat seseorang tinggal juga akan
menentukan apa yang benar dan apa yang salah, serta apa yang dianggap baik dan
apa yang dianggap buruk.
Pola budaya memengaruhi
perkembangan anak melalui pengaruhnya pada komposisi rumah tangga, sumber daya
ekonomi dan sosial, cara bertindak anggota terhadap anggota lain, makanan yang
dikonsumsi anak, permainan yang dimainkan anak, cara belajar anak, pekerjaan
orang tua, serta cara anggota keluarga memikirkan dan mempersiapkan dunia ini.[5]
Perbedaan budaya
berpengaruh pada pembelajaran. Misalnya, lingkungan anak yang memiliki budaya menjunjung tinggi ilmu
pengetahuan akan cenderung menghasilkan anak yang memiliki proses dan hasil
belajar yang baik karena anak akan berusaha untuk mencapai cita-citanya dengan
menaruh perhatian pada pembelajaran. Sedangkan, anak yang tinggal di lingkungan
yang kumuh, serba kekurangan, dan kurang menjunjung tinggi nilai-nilai
pendidikan cenderung memberikan pengaruh negatif terhadap proses belajar karena anak
akan acuh tak acuh terhadap pembelajaran dan kurangnya dukungan dari
lingkungannya.
[1] John
W Santrock, Perkembangan Masa Hidup, (Jakarta
: Erlangga. 2002), hal 268.
[2]
Eva Latipah, Pengantar Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta : Insan Madani, 2012),
hal 248.
[5] Ibid. hal 66.